“assalamualaikum”
Terdengar seseorang mengucapkan salam dari
balik pintu rumahku yang selalu tertutup tak peduli pagi maupun malam. Mamak
membuka pintu, “mam bolomu” teriaknya
setelah membuka pintu. Ternyata Yuliyan atau biasanya dipanggil Yayang, kakak
kelasku di SMP dan rekan di Ekstrakurikuler Karawitan.
“Digolek i Pak Bambang, kongkon ndek
sekolahan awakmu” katanya. Aku bingung, kenapa tiba-tiba Pak Bambang, guru
pembimbing di ekstrakurikuler karawitan mencariku.
Memang sudah lumayan lama aku
tidak latihan sejak terakhir kali tampil karawitan.
Aku langsung bersiap-siap, dengan baju
seadanya yaitu kaos oblong, celana pendek dan tak lupa sandal jepit aku
berangkat untuk menemui Pak Bambang di sekolah dengan mengendarai sepedaku. Sesampainya
di sekolah dengan keadaan masih bingung aku langsung disuruh duduk dibelakang
alat musik Gendang dan disuruh untuk
memainkannya. Ekstrakurikuler karawitan SMP ku memang lumayan terkenal,
terbukti selama 3 tahun berturut-turut karawitan sekolahku tidak pernah absen
untuk mewakili kabupaten Nganjuk dalam FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa
Nasional se Jawa Timur). Hampir seluruh anggota ekstrakurikuler karawitan bisa
memainkan alat lebih dari satu. Aku yang pada awalnya cuma bisa memainkan Gong kini sudah bisa memainkan Bonang, Demung, Saron dan alat lain yang
entah aku lupa apa namanya.
Setelah beberapa kali mencoba memainkan
gendang, semua anggota yang saat itu hadir tampak diam sejenak. Pak Bambang
tampak berfikir karena aku yang selalu gagal memainkan alat musik yang terbuat
dari kayu dan kulit itu. Sejenak setelah itu aku bertukar posisi dengan salah
satu kakak kelas ku yang sebelumnya memainkan alat musik gong. Setelah itu kita
memulai memainkan satu buah lagu dan tidak ada hambatan seperti tadi. Satu lagu
berakhir, dan akhirnya akupun diberi tahu kalau aku akan diikut sertakan dalam
kelompok karawitan yang dipersiapkan untuk lomba FLS2N di Surabaya mewakili
kabupaten Nganjuk. Aku sempat kaget, padahal aku tidak ikut dalam seleksi di
tingkat kabupaten. Aku ikut serta untuk menggantikan pemain gendang sebelumnya
yang umurnya tidak memenuhi persyaratan dan dipilih cuma gara-gara rumahku
paling dekat dekat sekolah dari pada anggota lain.
Mulai hari itu, tiap hari aku dan 4 orang lain
yang semuanya adalah kakak kelasku, berlatih secara intensif karena harus
merubah formasi gara-gara ganti personil. Hampir tiap hari aku tidak pernah
ikut pelajaran, karena latihan dimulai pada dari pagi sampek siang atau bahkan
sampek sore hari. Pada hari liburpun terkadang kami juga latihan apabila Pak
Bambang pembimbing kami tidak sedang ada acara. Aku sempat mengkhawatirkan
nilai pelajaranku yang semakin menurun gara-gara tidak pernah mengikuti kelas,
tapi aku meyakinkan diri kalau semua ini demi kebaikanku juga. Walupun kami
berlatih setiap hari dari pagi sampai siang, kami tidak pernah sekalipun
mengeluh, bahkan kami selalu merasa senang. Hari-hari yang kami lalui di ruang
karawitan membuat kami menjadi sebuah keluarga kecil, karena setiap hari selalu
bertemu.
Selama menjalani latihan banyak hal yang
terjadi, mulai dari aku yang sering kali kena marah gara-gara selalu salah
memukul gong gara-gara notasi yang tidak tepat, sampai yulyan kakak kelas ku
yang sering kali terkena pemukul gamelan gara-gara sering tidak mendengarkan
intruksi Pak Bambang. Terkena palu pemukul gamelan terasa sudah biasa bagi
kami, karena sudah sering kali kena. Gara-gara suara gamelan yang keras,
intruksi Pak Bambang sering tidak terdengar dan akhirnya palu pemukul pun
melayang untuk memberi tahu kalau ada yang salah. Walaupun terkena palu pemukul
gamelan kami tidak pernah sekalipun marah atau bahkan menyimpan rasa dendam karena
memang itu kesalahan kami.
Setelah latihan keras selama beberapa bulan,
akhirnya hari yang ditunggupun telah tiba. Sebelum berangkat kami diberi
pengarahan dan jaket sebagai identitas perwakilan dari Kabupaten Nganjuk. Kami
berada di Surabaya selama tiga hari bersama perwakilan dari cabang seni lain
seperti tari, paduan suara dan lain-lain. Sebelum lomba, selama di asrama
tempat kami menginap, cuma sekali kami berlatih untuk sekedar gladi kotor. Berbeda
dengan kami yang hanya sekali berlatih, aku sering melihat perwakilan dari
Kabupaten Blitar yang berlatih siang malam. Sehari sebelum lomba diadakan check
sound sekaligus gladi resik di tempat lomba. Malam hari setelah gladi resik ada
kejadian tak terduga terjadi, kakak kelasku yang bertugas memainkan gendang
tiba-tiba tidak enak badan.
Karena tidak ada pemain cadangan, tidak ada
pilihan lain selain memaksakan diri untuk tetap tampil. Diantara seluruh
peserta lomba karawitan, perwakilan dari kabupaten Nganjuk mempunyai satu nilai
lebih, yaitu dari pemain gendangnya. Kebanyakan dari kelompok karawitan, pemain
gendang adalah laki-laki, tapi kelompok kami kali ini pemain gendangnya adalah
wanita. Selain itu yang membuat kami kelihatan unik adalah pemain gong dengan
tubuh mungil dan harus kewalahan memegang dua pemukul, yaitu aku. Lomba hari
itu berjalan lancar walaupun ada sedikit kesalahan dalam penataan gamelan dan
menyebabkan kami gagal memenangkan penghargaan “Penata Gamelan Terfavorit” . Meskipun
begitu kami sudah merasa bersyukur karena mendapat penghargaan “Penyaji Terbaik”
bersama dengan 4 kelompok lain, yang salah satunya adalah kelompok yang kami
anggap sebagai rival tiap tahunnya yakni perwakilan dari Banyuwangi. Walaupun
perwakilan dari Kabupaten Nganjuk tidak bisa maju untuk mewakili Jawa Timur di tingkat
Nasional, aku sudah merasa puas karena ini pengalaman pertamaku mendapat
penghargaan untuk tingkat Provinsi.
0 komentar:
Posting Komentar