Dwi Ariyanto, Dwi Nurokhim, Siswoyo, Ipung Apriyanto, Imam
Santoso, dan gue Muhamad Imam Syahroni. Lima orang pemuda yang lulus bersama di
sebuah sekolah dasar berstatus Negeri, bernama SDN Begadung 2. Sekolah dasar
yang berletak di sebuah dusun kecil bernama Ngrandu Kelurahan Begadung. Kami
lulus bersama pada tahun 2008 lalu, dengan jumlah siswa satu kelas 17 anak. Diantara
17 anak yang lulus, cuma ada 5 anak laki-laki yaitu yang gue sebut namanya
tadi. Sebenarnya awal kelas 1 murid di kelas gue nggak segitu, seiring
berjalannya waktu ada yang keluar dan ada yang masuk sehingga hanya bertahan 17
anak yang mampu mendapatkan ijazah bertuliskan kata LULUS.
Walaupun cuma dengan 5 orang anak laki-laki, angkatan gue
bisa dibilang angkatan yang membanggakan (ini Cuma menurut gue). Kenapa gue
bilang membanggakan, ya karena angkatan gue bisa dibilang banyak berkontribusi
untuk sekolah (eciieee berkontribusi). SD gue dulu bisa dibilang bukan sebuah
SD yang bagus. Di awal gue masuk sekolah, kami para kelas 1 berangkat pukul
tujuh dan pulang pukul sepuluh gara-gara harus berbagi kelas dengan kelas dua
karena kekurangan ruang kelas. Kejadian ini memang berlangsung sudah lama namun
belum ada tanggapan dari pemerintah waktu itu.
Naik kelas dua, giliran kami yang berangkat siang, gantian
dengan anak kelas 1. Namun gara-gara ada perbaikan kelas, kegiatan belajar
mengajar jadi sedikit terganggu bahkan kelas gue pernah diliburkan lebih dari
sebulan. Waktu itu murid di kelas gue masih sekitar 20 an. Dengan berbagai
kekurangannya akhirnya gue bisa melewati kelas dua dan naik ke kelas tiga. Kelas
tiga adalah suatu awal untuk kami siswa-siswi SDN Begadung 2 untuk ikut
kegiatan-kegiatan di sekolah baik itu lomba, pawai pembangunan atau biasa
disebut karnaval dan ekstrakurikuler pramuka. Walaupun dari segi fasilitas
belum memadai, SD gue dulu bisa dibilang aktif dalam kegiatan-kegiatan yang
melibatkan anak didiknya.
Di kelas tiga untuk pertama kalinya gue ikut karnaval, gue
waktu itu ditunjuk jadi salah satu penari jaranan. Selain itu untuk pertama
kali juga gue ikut lomba, yaitu lomba menganyam, maraton sd, gerak jalan dan
lain-lain. Walaupun hampir nggak pernah mendapat piala juara, sekolah gue nggak
pernah menyerah dan terus ikut lomba. Melewati kelas 3 dengan berbagai
kegiatannya akhirnya gue naik kelas 4. Sejauh ini murid kelas gue sudah mulai
menurun hanya tertinggal 19 anak waktu itu. Di kelas 4 angkatan gue dulu sering
membantu pihak sekolah dalam masalah pembangunan, walupun cuma sekedar ngecat
pagar sekolah.
Inilah yang mungkin membedakan murid di sekolah gue dengan
murid di sekolah lain. Di saat jam olah raga selain kami kegiatannya olah raga,
kadang kepala sekolah meminta angkatan gue untuk membantu membersihkan rumput,
mengecat pagar, membersihkan kamar mandi atau membersihkan perpustakaan. Diantara
seluruh angkatan waktu itu, kalau dilihat mungkin angkatan gue yang paling
sering membantu sekolah. Walaupun disuruh ini dan itu, yang gue suka dari
temen-temen gue mereka itu nggak pernah ngeluh sedikitpun. Layaknya seorang
murid SD waktu disuruh bersih-bersih sering kali kami main-main sampai ditegur
guru.
Dari kelas empat kemudian gue naik kelas 5. Hampir sama
dengan kedaan di kelas 4, angkatan gue masih sering disuruh untuk bersih-bersih
sekolah dan ngecat pagar. Di waktu luang kadang gue ke perpustakaan karena
nggak punya uang buat jajan. Waktu jaman gue dulu, mulai kelas 3 perpustakaan
sekolah mulai aktif, itupun anak-anak Sdnya yang disuruh untuk bersih-bersih
supaya bukunya nggak ada yang rusak. Gue sering baca buku dongeng disana, tak
jarang pula kalau belum selesai baca gue pinjem buat dibaca dirumah. Waktu itu
gue masih lumayan suka baca buku, tapi buku dongeng jadi ada gambar
ilustrasinya tiap gue baca.
Setelah menjalani kehidupan di kelas 5 akhirnya tiba di
tahap terakhir sekolah dasar yaitu kelas 6. Walaupun sudah kelas 6, angkatan
gue menganggapnya sama seperti halnya kelas-kelas sebelumnya, kami masih sering
bermain waktu istirahat, mengikuti kegiatan-kegiatan dan lomba-lomba tanpa
memperdulikan kalau kami akan menjalani ujian akhir nasional. Kami nggak ingin
waktu terakhir kami bersama ini jadi terbuang sia-sia Cuma gara-gara fokus
belajar untuk Ujian Nasional. Di penghujung akhir tahun pelajaran dan persiapan
untuk Ujian Nasional bahkan gue pun nggak belajar, gue masih sering main waktu
di sekolah maupun di rumah walau kadang-kadang mamak menegur untuk segera
belajar.
Terbukti, setelah pengumuman hasil Ujian Nasional kami
sekelas dinyatakan lulus 100% bahkan dengan nilai yang memuaskan. Waktu itu gue
dapet urutan ketiga dalam peringkat danum di kelas. Dengan jumlah siswa kelas
enam Cuma 17 anak kami melaksanakan ujian nasional Cuma dalam satu ruangan dan
bersyukur bisa lulus semua. Setelah lulus SD kami mulai berpencar masuk ke SMP
yang diinginkan masing-masing. Walaupun sudah banyak yang berpisah, nggak akan
pernah terlupakan kenangan waktu memakai seragam merah putih.
0 komentar:
Posting Komentar